DIRIKU
Karya: ZULFANSYAH
Karya: ZULFANSYAH
Giliranku memperkenalkan diri kepada guru pembimbing karena aku adalah
anggota baru di sebuah organisasi. Dengan santai aku menjelaskan nama
ku. Rasa ketidak nyamanan pun aku rasakan sebab hanya diriku seorang
yang berjenis kelamin lelaki. Rumah sanggar cerita, di sanalah aku duduk
dan menikmati hembusan angin dan siraman cahaya matahari. Kami
berkumpul bersama untuk mendengarkan kata-kata motivasi dari guru
pembimbing kami.
Betapa luar biasanya motivasi yangdisampaikan oleh guru pembimbing kami
saat itu. Motivasi yang paling berkesan menurut saya saat guru
pembimbing kami mengatakan terus asah bakat dan terus berlatih untuk
selalu menulis, memang pada awalnya itu tidak mudah namun apabila kita
giat pasti akan mudah. Dari pertemuan kami tersebut sungguh disayangkan
karena peserta atau murid yang datang hanya sebanyak 20 orang. Itu juga
ditambah dengan 8 orang kakak kelas. Terkesan sunyi namun, terkesan
ramai, terkesan ramai karena banyaknya banyolan dan canda tawa yang
dilontarkan oleh guru pembimbing kami yang membuat kami juga ikut
tertawa. Namun, terkesan sunyi karena hanya saya sendiri yang lelaki.
Kegiatan selanjutnya yang kami lakukan adalah membuat kelompok mading.
Kesusahan untuk mencari tema yang akan dibuat itu teralami oleh kami.
Dari situ juga, kami langsung diberi tugas oleh guru pembimbing kami
untuk membuat cerpen atau artikel.
Sepulang dari rumah sanggar cerita, saya masih memikirkan saya ini
ingin membuatyang mana, cerpen atau artikel?. Jujur, selama ini saya
sama sekali belum, pernah membuat artikel dan cerpen. Setelah
dipikir-pikir dan dibanding-bandingkan antara cerpen dan artikel
ternyata lebih mudah itu membuat cerpen daripada artikel. Kepenatan
dalam membuat
cerpen kini dirasakan, karena cerpen yang saya buat mengalami perubahan
tema, cerita, dan penokohannya hingga tiga kali.
Saat membuat cerpen pertama, alur dari ceritanya tidak jelas mau lari
ke mana. Perombakan pada ceritanya dilakukan, namun tokoh yang
diperankan tidak sesuai dengan cerita. Perbaikan pada penokohan
dilakukan juga, namun konflik dalam ceritanya tidak ada. Menghabiskan
waktu dua hari untuk membuat cerpen yang gagal tersebut.
Pembuatan cerpen yang kedua pun dilakukan. Sampai juga pada akhir
cerita, tapi ketika saya membaca ceritanya sungguh
tidak menarik dan membosankan. Kini saya baru manyadari bahwa sesuatu
itu tidak boleh dipandang sederhana dan mudah. Pengulangan akan membuat
cepen untuk yang ketiga dilakukan. Melihat dan belajar dari dua kali
kegagalan tersebut, akhirnya terciptalah cerpen pertama saya yang
berjudul "Akhirnya Kembali". Menurut saya sendiri di dalam cerpen
tersebut sudah lengkap unsur-unsur intrinsiknmya dan cukup menarik untuk
dibaca. Lumayan bagi pemula seperti saya dalam membuat cerpen. 
ZJb
ZJb
GARA-GARA
2 BUNGKUS COKLAT
KARYA: ZULFANSYAH
Nama
gue Dina. Usia gue 15 tahun, hobi makan coklat. Gue baru mati tadi pagi, gue
mati ditabrak angkot. Arwah gue masih berkeliaran gak tenang. Penyebab gue mati
adalah 2 bungkus coklat yang gue beli. Begini cerita tragis kematian gue…
Dering
alarm jam wacker mendesis di telinga gue seraya meramaikan kamar tidur dalam
kesenyapan. Hari menunjukkan pukul 07.00 pagi namun gue mengabaikan suara yang
memanggil untuk bangun dan bersekolah itu. Tak berapa lama gue mengucek kedua
mata dan mulai tersadar dengan suara wacker yang belum di offkan itu. Sepintas kedua
bola mata gue terkejut memelototi benda bulat itu yang menunjukkan pukul 07.22.
Dengan
rambut yang berantakan dan muka gersang spontan langsung saja gue mengambil
seragam sekolah yang tergantung di belakang pintu kamar serta tak lupa dengan
sepatu dan tas sekolah milik gue. Kini gue memutuskan berangkat dengan naik
ojek ketimbang mengendarai mobil pribadi sendirian. Dengan lari 70 km/jam,
akhirnya sampai ke sekolah tepat pukul 07.33. Ternyata dewi keberuntungan masih
memihak pad ague wanita yang selalu mujur nasib ini sebab pintu gerbang
sekolahan itu masih terbuka walaupun bel sekolah sudah berlangsung sejak 3
menit yang lalu.
Dengan
terburu-buru gue langsung lari masuk menuju kamar kecil untuk mengganti pakaian
tidur yang masih gue kenakan dengan seragam sekolah yang dari tadi digenggam. Jantung
terasa berdegup cukup kencang sebab rasa tidak tenang untuk segera masuk ke
kelas dan mengikuti pelajaran. Saat melangkahkan kaki ke luar dari kamar kecil,
tiba-tiba gue menoleh ke arah tempat yang selalu menyediakan berbagai makanan
yang lezat, apalagi kalau bukan kantin sekolah. Wajar saja mataku menoleh ke
arah sana sebab kantin tersebut terletak bertetanggaan dengan kelasku. Sungguh
yang paling dikhawatirkan bahwa setiap hatinya kantin itu menyuguhkan berbagai
coklat yang lezat, hal itu yang paling tidak bisa gue tahan nafsu.
“Sudahlah
Dina, cepat masuk ke kelasmu ntar kamu dimarahi sama gurumu dan tidak diberi
izin untuk mengikuti pelajaran. Lagi pula tadi malamkan kamu sudah berpesta
coklat dengan mama dan adik sepupumu.” Sesuatu yang membisiki telinga kanan
Dina.
Tersadar
dengan itu, Dina mencoba untuk meninggalkan kantin dan melangkah menjauh. Tapi
setelah di langkah keduanya…
“Alahh…
itukan tadi malam. Hee, Dina. Tidakkah engkau tergiur dan sangat suka dengan
coklat-coklat lezat yang mengejek dirimu karena kamu tidak berani untuk membeli
dan memakan mereka. Lagipula membeli coklatkan cuma membutuhkan waktu 2 menit.
Ayolah Dina beli coklat itu.” Sesuatu yang membisikkan telinga kiri Dina.
Buset,
seakan malaikat dan setan ikut ambil andil pada saat itu. Uangpun keluar dari
saku baju gue dan lembaran uang tersebut tergantikan dengan dua buah bungkus
coklat yang berukuran sedang. Senang rasanya disaat kita punya coklat. Tak lama
gue mencoba berlari kecil menuju kelas gue. Namun apadaya sang dewi keberuntungan kini tak memihak, gue
diberi izin oleh guru wali kelas untuk belajar di rumah saja. Ya, memang sudah
peraturannya apabila ada siswa yang terlambat masuk ke kelas selama 10 menit
maka belajar di rumah lebih baik untuknya.
Dengan
penuh penyesalan dan rasa kesal tersimpan di benak. Gue pergi pulang dengan
muka murung. Kali ini gue memutuskan pulang dengan berjalan kaki seraya memikirkan
apa yang telah terjadi barusan.
“Ternyata
benar apa yang dikatakan oleh si malaikat tadi. Coba aja tadi gue langsung
masuk ke kelas dan tidak membeli coklat yang ada di kantin pasti gue sekarang
sudah duduk di bangku kelas gue.” Sesalnya dalam hati. “Benar aja kalau gue
harus jalan kaki sampai ke rumah bisa-bisa gempor nih kaki, malah perut belum
terisi oleh makanan lagi.”
Dengan
memutar-mutar kepala seperti mencari sesuatu. Dina berjalan ke depan. Tak butuh
waktu yang lama gue menemukan kedai nasi padang di seberang jalan, dan gue pun
memutuskan untuk sarapan disana. Seusai mengisi gue berniat akan memakan coklat
yang gue beli tadi di kantin.
Baru
jerjalan empat langkah ke tengah jalan, tiba-tiba sebuah angkot tanpa penumpang
melaju dengan kenjang dan menambrak gue yang membuat roh gue terlempar 3 kali
lebih jauh dari jasad gue.
“Terasa
lengkap sudah kesialan gue pada hari ini, telat bangun gara-gara pesta coklat
tadi malam, tidak mandi pagi, tidak diizinkan untuk mengikuti pelajaran hari
ini, perut laper belom sarapan, dan ditutup dengan kematian, bahkan gue belom
sempat untukmemakan coklat yang gue beli tadi. Dan ini semua terjadi gara-gara
coklat.”
Kini
kebingungan yang hanya ada. Karena malaikat maut saja belom menjemput disaat
arwah gue sedang berkeliaran.
“Hihihi…
bertambah satu lagi kesialan gue, gue kini tak bisa menikmati coklat lagi. Tapi
gue tetep bisa menikmati coklat apabila gue masuk surga, ya, itupun kalau gue
masuk kalau gue masuknya ke neraka…? Sementara itu malaikat maut aja belom
kunjung tiba, apa terjebak macet kali ya…?”
ZJb
Imaji Sungai Bingai
Karya: Zulfansyah (XII IPS 1)
Adzan Subuh
kembali berkumandang di masjid tua yang tepat berada di seberang jalan rumahku
untuk mengajak segelintir umat yang masih berpegang teguh pada agamanya untuk
menunaikan kewajibannya. Sebagai umat beragama aku pun turut menunaikannya
setelah Nande membangunkanku. Ya, aku memang bukanlah umat yang terlalu taat dalam memegang agama, bahkan aku pernah mencopet uang wisatawan, melawan kepada kedua orang tuaku, dan yang lebih parahnya lagi, aku
pernah mabuk-mabukan bersama dengan teman sebayaku, tetapi boleh dibilang aku senang
melakukan ibadah Subuh.
"Mejile
bangun, ayo sembahyang Subuh! Bapak sudah menunggu itu untuk sembahyang berjamaah. Bangun!"
Nande membangunkanku penuh dengan kasih sayang, walaupun usiaku kini sudah
tidak bisa dibilang anak kecil lagi.
"Hmm...
Iya, Nande ambil wudhu duluan." Dengan nada setengah sadar aku menyambut
perintah Nande.
"Nande
dan Bapak sudah
siap-siap, tinggal menunggu Mejile ini." Ya, keluargaku memanggil aku dengan
panggilan Mejile yang sebenarnya kalau diartikan itu artinya adalah cantik,
padahal aku terlahir sebagai lelaki. Aku pernah bertanya kepada Bapak perihal
namaku itu, alasan aku diberi nama mejile karena aku lahir tepat pada waktu
yang cantik, yaitu jam 7 pagi, tanggal 7 bulan 7 tahun 1997 yang bertepatan
dengan tanggal pernikahan Bapak dengan Nande. Ya, sudahlah.
Baiklah
balik ke cerita, masih dalam keadaan belum sadar aku pergi ke kamar mandi. Ku
rabakan tanganku ke sekitar bak mencari sesuatu untuk mengambil air, tetapi
tanganku tak kunjung mendapatkan benda yang memaksaku untuk terus meraba.
Alhasil, ku bukakan mataku dan kulihat ternyata benar, gayungnya tidak
bertengger di sekitar bak, melainkan sedang mengapung di atas air, alias berada
di dalam bak yang airnya tepat terisi setengah. Hal itu memaksa diriku untuk
benar-benar bangun dari ketidak sadaran diriku.
Ku sapukan
pergelangan tanganku dengan seksama, ku basuhkan mukaku sepenuhnya hingga tiga
kali, kemudian dilanjutkan bagian yang lainnya, dan semua itu aku lakukan
secara tertib dan teratur sama persis dengan yang diajarkan oleh guru ngajiku
kala aku kecil. Dan aku pun bersegera melaksanakan sembahyang Subuh berjamaah
bersama dengan keluarga kecilku.
***
Pagi yang
cerah kembali menghampiri hari-hariku seperti sebelumnya. Kebetulan sekarang
bertepatan dengan hari libur sekolah aku pun seperti biasanya melakukan
rutinitasku, yakni menjadi seorang pemandu wisata kepada setiap pengunjung yang
datang ke desaku ini. Desa Bibingai. Ya, walaupun aku remaja usia 17 tahun,
tapi aku cukup handal dalam menunjukkan tempat-tempat pariwisata yang ada di
desaku ini.
Desa Bibingai
merupakan desa kecil yang dihuni oleh sekelompok masyarakat kecil yang mengais
rezekinya dari usaha bertani. Di desaku ini juga terdapat sebuah sungai nan
elok yang memotong dan membuat desa Bibingai terbelah menjadi empat bagian, Bibingai
Utara, Bibingai Timur, Bibingai Selatan, dan Bibingai Barat, yaitu bernama
sungai Bingai.
Entah
bagaimana sungai tersebut membelah desa kami ini tapi itulah kekuasaan Tuhan
yang wajib kami syukuri, sebab sungai Bingai sudah menjadi penopang hidup kami selama
ini dalam pengairan sawah dan ladang-ladang kami dari dalu hingga sekarang.
"Teroh-Teroh.
Reutah-Reutah. Samsare-Samsare." Tepat di pinggir jalan dan dengan suara
lantang aku menawarkan tempat-tempat istimewa yang ada di sekitar sungai Bingai
kebanggaan kami kepada mereka yang berlalu-lalang.
Kali ini
pemandangannya tidak seperti biasanya, sebab ada beberapa anggota tim SAR yang
aku temui di sekitar tempat dinama aku mencari wisatawan, mungkin ada sesuatu yang telah terjadi namun
entahlah aku tidak terlalu
menghiraukannya.
Satu kereta,
dua kereta, tiga kereta, dan masih banyak lagi kereta yang berlalu lalang tapi
tidak ada satu kereta pun yang berhenti untuk berwisata. Keadaan seperi ini
jarang sekali terjadi di desa kami. Biasanya wisatawan dalam negeri hingga luar
negeri selalu melimpah ruah, tapi kali ini berbeda. Dan para pemandu wisata
yang lainnya pun tidak sebanyak seperti yang biasanya, pada kemana mereka?
Sebenarnya apa yang terjadi dengan desa ini? Benakku terus bergejolak
mempertanyakan hal ini semua.
***
Ya, aku
langsung pergi menemui Pak kades dengan menaiki sepeda janda milik Nande yang aku pinjam. Pak kades yang
sedang asyik mencangkuli ladangnya yang tepat di sebelah rumahnya itu terkejut
dengan kehadiranku yang menabrak sebatang pohon rambutan yang menjadi pembatas
ladangnya itu.
"Erkai kam ku jenda, Ile[1]?"
Ya, Ile merupakan nama sampinganku di desa ini, bahkan aku lebih senang
dipanggil begitu daripada nama lahirku.
"Assalamu'alaikum
Pak kades. Pak, kenapa desa kita hari ini sepi wisatawan, padahal hari ini kan
hari libur tapi kok malah
sunyi?" Tanpa menghirup napas terlebih dahulu aku langsung menanyakan hal
tersebut kepada Pak kades.
"Wa'alaikum
salam." Dengan wajah yang polos dibarengi sunggingan kecil di bibir seraya
menghampiri dimana tempat keberadaanku. "Jadi,
kam[2]
belum tahu mengenai berita itu?" Kini ekspresi wajah Pak kades berubah menjadi lebih serius dari sebelumnya.
"Berita
kai[3],
Pak?" Sambil mengerutkan alis aku pun bertanya dengan nada serius yang
dikuasai rasa penasaran yang mendalam.
"Sebaiknya
kita membahasnya di dalam rumah saja, karena gak baik kalau ada orang yang
mendengar berita tersebut. Mari, ikut saya!" Sambil sibuk sendiri
membersihkan mata cangkul dengan kakinya dan berbisik-bisik, Pak kades
mengajakku ke rumahnya tanpa memandang ke arahku seakan tidak ingin ada orang
lain yang mengetahui ajakan Pak kades.
Ya, sama
seperti tadi yang ku bilang bahwa rasa penasaranku itu lebih besar dari
segalanya sehingga dengan sigap aku sandarkan sepeda janda milik Nande pada
dinding kayu rumah Pak kades yang berlapiskan cat berwarna kuning itu. Ya, rumah
Pak kades merupakan satu-satunya rumah yang dilapisi cat berwarna, sedangkan
rumah kami hanyalah warna abu-abu alias warna dasar semen dan selebihnya lagi
hanya warna batu bata.
Tanpa
meminta izin terlebih dahulu aku langsung masuk ke dalam rumah dan duduk. Tidak
lama kemudian Pak kades pun duduk tepat di hadapanku sehabis keluar dari kamar
mandi membersihkan kakinya dari tanah yang melekat saat mencangkul di ladang
tadi.
“Ayo
pak, sebenarnya apa yang terjadi dengan desa Binjai ini, kok hari libur seperti
ini sepi akan wisatawan yang datang ke mari yang ada hanyalah para anggota tim
SAR yang sibuk-sibuk sendiri?” Tanyaku dengan maksud langsung memulai dan
memecah kesunyian diantara kami.
“Sungguh
sangat disesali peristiwa kemarin. Sungguh tragis, kantor lurah yang menangani bidang pariwisata desa
Binjai dalam waktu dekat akan menutup desa Binjai terutama sungai Bingai
sebagai daerah wisata.”
“Maksud Pak kades peristiwa kai?
“Jadi,
kam banar-banar belum tahu Ile?"
"Lenga[4]
Pak kades." Jawabku.
"Sebenarnya
selama tiga hari ini desa kita sudah sunyi akan wisatawan. Karena tepat pada
hari Jumat kemarin sehabis melaksanakan sembahyang Jumat terjadi tragedi yang
mengenaskan, anak satu-satunya kila
Manuel mati tenggelam di Samsare.” Ekspresi Pak kades kini malah menjadi lesu seakan sedang
menyaksikan langsung tragedi tersebut dan aku dapat membacanya. “Usul punya
usul bahwa tragedi tersebut berawal saat anak kila Manuel yang sedang membawa
wisatawan tergelincir masuk ke Samsare dan tenggelam terbawa arus sungai
Bingai, sedangkan para wisatawan yang dibawa Utas semuanya selamat dan sudah dipulangkan ke daerah
mereka masing-masing. Memang kalau dilihat pada saat itu arus air sungai
Bingai tidak seperti biasanya. Alhasil, sampai sekarang mayat Utas tidak ditemukan.
Entah kenapa setiap tahun selalu terjadi kejadian seperti ini. Yang sekarang
Utas-lah yang menjadi
korbannya. Dan akhirnya, berita tersebut sudah menyebar kemana-mana. Maka dari
itu, kantor lurah bidang pariwisata desa
Binjai akan menutup desa Binjai sebagai tempat untuk berwisata karena takut peristiwa ini terjadi lagi di kemudian hari.” Kulihat Pak kades mengusap-usap
matanya yang sebelah kanan. “Memang sungguh prihatin melihat kila Manuel sibuk mencari
mayat si Utas sendirian hingga larut malam dan itu hanya sesekali ditemani oleh
tim SAR.” Sambung Pak kades.
"Innalillahi.
Jadi, Utas sudah meninggal dunia Pak kades?" Kejut batinku dan mencoba
membendung danau yang terbentuk di kelopak mataku.
"Uwe[5]
Ile. Pak kades sarankan, kam berhentikan saja kerja sampingan kam itu, dan
fokus saja untuk belajar di sekolah kam. Karena Pak kades takut korban berikutnya itu kam
Ile." Getar nada bicara Pak kades.
Penjelasan
dari Pak kades membuat aku turut sedih, seakan-akan sedihnya Pak kades
ditransfer kepadaku. Sungguh ironis memang, sebab siapa yang bisa manyangkanya,
usia tidak menjamin kapan kita akan kembali kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Utas
sahabat karibku sejak sekolah dasar. Kami selalu bermain bersama, belajar
bersama, tapi karena tuntutan ekonomi memaksa dia harus berhenti sekolah, waktu
itu saat naik ke kelas lima. Utas hanya memiliki seorang Ayah tanpa mengenal
sesosok seorang ibu yang
sudah melahirkannya. Sebab dari penjelasan kila Manuel yang tidak lain Bapak
kandung Utas, bahwa, ibu Utas
meninggal saat Utas berusia satu minggu karena kanker otak akut yang diderita.
Lagi-lagi itu semua karena keadaan ekonomi keluarga.
Semenjak
keberhentian Utas akan sekolahnya membuat kami jarang untuk bersama-sama lagi.
Aku sibuk dengan sekolahku, sedangkan dia sibuk mengais rezeki dengan bekerja
menjadi seorang pemandu wisata yang itu membuat kami bertemu hanya sekali
seminggu saat aku juga bekerja dan itu pun jarang.
Tiba-tiba
suasana menjadi hening hanya ada tiupan angin yang menyambar badan kami.
Sepertinya aku merasa keberadaan Utas menyertai aku dan Pak kades.
Mengetahui
bahwa mayat Utas belum ditemukan aku memiliki hasrat untuk turut membantu
manemukan mayat Utas sahabat karibku di sekitar Samsare. Entah bagaimana hasrat
itu datang tapi aku seperti terpanggil.
Benar
saja, setibaku di tempat kejadian aku langsung bertemu dengan kila Manuel dan
beberapa anggota tim SAR yang sedang sibuk mencari-cari sambil berenang
di sekitat area Samsare. Mereka menelusuri sungai Bingai tapi tetap saja mayat
Utas tidak ditemukan.
Tidak
sedikit masyarakat desa Binjai berpendapat bahwa jasad Utas sudah diambil oleh
roh jahat penunggu tempat Samsare, jasad Utas sudah dimakan oleh hewan melata
penunggu sungai Bingai, bahkan lebih parahnya bahwa, Utas sudah menjadi tumbal
bapaknya sendiri karena kila Manuel terkenal di desa ini sebagai seorang
paranormal yang cukup
mandraguna.
Aku
menepis semua anggapan tersebut dengan mentah. Aku yakin mayat Utas pasti bisa
ditemukan walaupun bentuknya sudah tidak utuh lagi.
"Ile,
tolong maafkan temanmu Utas kalau dia punya salah ya."
Seseorang
menghampiri dan memegang pundakku dengan nada sedih. Ku palingkan wajahku ke
arah orang yang sedang berbicara itu. Sudah ku
tebak, kila
Manuel.
Tangannya
dingin seperti es sampai-sampai tulang pundakku pun mampu merasakannya.
"Ile
pasti memaafkan semua kesalahan Utas Kila, walaupun tanpa diminta untuk
memaafkannya." Ucapku dan berharap perkataan tersebut mampu menenangkan
hatinya. "Kila, kalau diizinkan Ile ingin membantu mencari jasad
Utas."
"Sudahlah
Ile, tidak ada gunanya lagi. Kami sudah lelah mencarinya. Itu semua
sia-sia." Tukas kila Manuel penuh dengan rasa putus asa.
Aku
hanya bisa terdiam mendengar perkataan kila Manuel. Tapi itu tidak turut membuatku
putus asa juga untuk mencari jasad Utas. Aku mulai menyusuri
sungai Bingai. Karena ku tahu di
Samsare tidak ditemukan maka, ku cari ditempat lain.
Dari
Samsare aliran sungai menuju ke arah Reutah dan ku habiskan waktuku di sana
untuk mencari Utas. Ku selami sungai Bingai di Reutah tapi tidak ada
tanda-tanda bahwa mayat Utas ada di sana.
Aku
semakin terpanggil untuk terus menyusuri sungai Bingai yang akhirnya berujung di
Teroh-Teroh. Aku pun kembali menyelam dan mengitari areal Teroh-Teroh. Waktu semakin
senja, lelah kini menguasai badanku.
Ku
sepakati diriku untuk beristirahat sejanak. Mataku terpaku mengarah ke sebatang
pohon yang berada di pinggir sungai yang mengapung. Batang pohon tersebut
membuat aku melamun membayangkan persahabatan kami berdua ternyata berakhir
secepat ini.
Semakin
dalam ku tatap batang pohon tersebut semakin dalam pula ingatanku akan Utas. Ku
perjelas fokus mataku manatap batang pohon yang mengapung di pinggir sungai itu seperti ada yang
aneh. Ku coba untuk menyeberangi sungai dan ku lihat ternyata... "Utas..."
Sentakku ketika ku lihat sebatang pohon tadi menjelma menjadi sosok Utas.
Aku
mengenali betul pakaian yang dikenakannya setiap hari kala mencari wisatawan,
baju hijau pudar lengan puntung. Langsungku angkat jasad Utas dari dalam
sungai.
Aku
tidak bisa menerimanya, badan Utas lembam penuh belatung dan membusuk. Kini air
mataku tidak dapat aku bendung lagi. Rasa penyesalan terus berkecamuk dalam
batinku.
Langsung
aku berlari memberitahu kila Manuel mengenai keberadaan jasad Utas tersebut. Masyarakat
berbondong-bondong ingin melihatnya. Peristiwa injak-menginjak dan
dorong-mendorong pun terjadi seperti tidak percaya terhadap kenyataan.
Karena bau busuk
dan tubuh Utas sudah dipenuhi oleh belatung, tanpa mengulur waktu lagi setelah memastikan bahwa
mayat itu memang Utas memalui pengenalan pakaian dan tingginya. Dikarenakan muka dan bentuk tubuh Utas sudah tidak
sempurna lagi maka, jasad Utas langsung dibungkus dengan kain kafan dan di
sembahyangkan oleh beberapa warga setempat, serta dikubur di sekitar areal
Teroh-Teroh. Kemudian semuanya berbondog-bondong pergi ke rumah kila Manuel
untuk menghadiri upacara adat kematian.
Di
rumah duka, acara adat atas kematian Utas diselenggarakan penuh dengan isak
tangis keluarga dan sahabat dekat kila Manuel. Pak kades, Nande, dan Bapak pun
ikut datang untuk menyampaikan doa dan rasa duka mereka.
Saudara
kila Manuel satu persatu menyampaikan rasa kesedihannya dengan menggunakan
bahasa Karo yang kental.
"Anak si sada udah tiada siapa yang merawat kam Bapak? Anak si
sada lenga pesehna cita-citana[7]." Sambung
Nande uda Utas.
Tidak
ada warga dan sanak saudara yang tidak menangis saat menyampaikan kesedihannya
satu persatu, begitu juga denganku.
Usai
sudah prosesi menyampaikan rasa kesedihan, kemudian dilanjut dengan acara makan bersama. Makan
bersama di sini bertujuan untuk penghormatan terakhir dan ucapan terima kasih
kepada segenap orang yang sudah hadir dan turut ikut berdoa.
Semua
prosesi adat kematian sudah dilaksanakan sesuai ketentuan adat Karo. Malam pun
semakin gulita. Nanyian jangkrik melepas kesunyian di rumah kila Manuel. Doa
beribu doa sudah disampaikan untuk Utas agar ia tenang di sana.
Akhirnya
aku bersama Bapak dan Nande pulang ke rumah. Di sepanjang jalan aku memikirkan
kejadian ini dan sungguh sulit untuk aku percaya. Aku malah berpikir bahwa Utas
masih hidup, dia hanya bermain-main dan tidak pulang kerumah hanya untuk waktu
sebentar, dia pasti pulang ke rumahnya dan bertemu kembali dengan bapaknya.
Saat
di jalan menuju rumah tiba-tiba hujan mengguyur lebat dan membasahi badanku, tapi ku lihat
badan Bapak dan Nande tidak basah, sama sekali tidak basah. Sentak aku langsung
berteriak memanggil kedua orang tuaku sekeras mungkin.
Dan
aku pun tersentak saat
ku rasakan percikan
air ke wajahku.
"Mejile bangun,
udah ditunggu itu sama Utas di depan pintu." Nande membangunkanku untuk
yang kedua kalinya.
"Nande
ini jam berapa?" Tanyaku yang disertai degup jantung yang kencang. Ku
palingkan wajahku ke arah jam dinding yang masih berdetak-detak itu, ternyata
menunjukkan jam 9 pagi. Jadi, tadi itu apa?
"Jam
9. Makanya habis sembahyang itu jangan tidur. Sudah kam temui Utas, sudah lama dia
menunggu di depan pintu."
Tanpa
berpikir panjang dan tanpa mencuci muka terlebih dahulu aku langsung menuju ke
depan pintu dan kulihat sesosok bayangan hitam sudah berdiri di sana. Semakin aku mendekat
ke pintu semakin jelas bayangan tersebut. Kulihat dengan hati-hati dan
ternyata...
"Ile,
lama kali kam bangun. Ayo kita kerja mencari wisatawan, kalau ada peluang
sikit-sikit bisalah kita ambil selembar atau dua lembar uang wisatawan itu. Ayo
cepat, aku udah nunggu kam..."
Rasa
lega mengguyur seluruh tubuhku seperti diguyur segarnya air sungai Bingai. Senang rasanya
masih bisa melihat dan mendengar suara sahabat karibku itu. Tak ku hiraukan
saat dia berbicara panjang lebar di sepanjang perjalanan melainkan, menatapnya dengan rasa gembira sambil
tersenyum dan terus bersyukur kepada Tuhan bahwa itu semua hanya mimpi.
[1] Erkai
kam ku jenda, Ile: Ngapai kamu ke sini, Ile?
[2] Kam: Kamu
[3] Kai: Apa
[4] Belum
[5] Iya
[6] Hai,
anak saudaraku, kenapa kamu cepat tingalkan kami. Ayahmu sendirian di rumah
[7]
Anak satu-satunya sudah tiada siapa yang merawat Ayahmu? Anak satu-stunya belum
raih ceta-citanya
[8]
Tenanglah kamu, sudah tenanglah hidupmu di sana, kami rindu sama anak si satu
ini
0 komentar:
Posting Komentar