Kamis, 30 Agustus 2012

Kumpulan Cerpen

DIRIKU
Karya: ZULFANSYAH

    Giliranku memperkenalkan diri kepada guru pembimbing karena aku adalah anggota baru di sebuah organisasi. Dengan santai aku menjelaskan nama ku. Rasa ketidak nyamanan pun aku rasakan sebab hanya diriku seorang yang berjenis kelamin lelaki. Rumah sanggar cerita, di sanalah aku duduk dan menikmati hembusan angin dan siraman cahaya matahari. Kami berkumpul bersama untuk mendengarkan kata-kata motivasi dari guru pembimbing kami.
    Betapa luar biasanya motivasi yangdisampaikan oleh guru pembimbing kami saat itu. Motivasi yang paling berkesan menurut saya saat guru pembimbing kami mengatakan terus asah bakat dan terus berlatih untuk selalu menulis, memang pada awalnya itu tidak mudah namun apabila kita giat pasti akan mudah. Dari pertemuan kami tersebut sungguh disayangkan karena peserta atau murid yang datang hanya sebanyak 20 orang. Itu juga ditambah dengan 8 orang kakak kelas. Terkesan sunyi namun, terkesan ramai, terkesan ramai karena banyaknya banyolan dan canda tawa yang dilontarkan oleh guru pembimbing kami yang membuat kami juga ikut tertawa. Namun, terkesan sunyi karena hanya saya sendiri yang lelaki.
    Kegiatan selanjutnya yang kami lakukan adalah membuat kelompok mading. Kesusahan untuk mencari tema yang akan dibuat itu teralami oleh kami. Dari situ juga, kami langsung diberi tugas oleh guru pembimbing kami untuk membuat cerpen atau artikel.
    Sepulang dari rumah sanggar cerita, saya masih memikirkan saya ini ingin membuatyang mana, cerpen atau artikel?. Jujur, selama ini saya sama sekali belum, pernah membuat artikel dan cerpen. Setelah dipikir-pikir dan dibanding-bandingkan antara cerpen dan artikel ternyata lebih mudah itu membuat cerpen daripada artikel. Kepenatan dalam membuat cerpen kini dirasakan, karena cerpen yang saya buat mengalami perubahan tema, cerita, dan penokohannya hingga tiga kali.
    Saat membuat cerpen pertama, alur dari ceritanya tidak jelas mau lari ke mana. Perombakan pada ceritanya dilakukan, namun tokoh yang diperankan tidak sesuai dengan cerita. Perbaikan pada penokohan dilakukan juga, namun konflik dalam ceritanya tidak ada. Menghabiskan waktu dua hari untuk membuat cerpen yang gagal tersebut.
    Pembuatan cerpen yang kedua pun dilakukan. Sampai juga pada akhir cerita, tapi ketika saya membaca ceritanya sungguh tidak menarik dan membosankan. Kini saya baru manyadari bahwa sesuatu itu tidak boleh dipandang sederhana dan mudah. Pengulangan akan membuat cepen untuk yang ketiga dilakukan. Melihat dan belajar dari dua kali kegagalan tersebut, akhirnya terciptalah cerpen pertama saya yang berjudul "Akhirnya Kembali". Menurut saya sendiri di dalam cerpen tersebut sudah lengkap unsur-unsur intrinsiknmya dan cukup menarik untuk dibaca. Lumayan bagi pemula seperti saya dalam membuat cerpen. :) happy

ZJb





GARA-GARA 2 BUNGKUS COKLAT
KARYA: ZULFANSYAH
Nama gue Dina. Usia gue 15 tahun, hobi makan coklat. Gue baru mati tadi pagi, gue mati ditabrak angkot. Arwah gue masih berkeliaran gak tenang. Penyebab gue mati adalah 2 bungkus coklat yang gue beli. Begini cerita tragis kematian gue…
Dering alarm jam wacker mendesis di telinga gue seraya meramaikan kamar tidur dalam kesenyapan. Hari menunjukkan pukul 07.00 pagi namun gue mengabaikan suara yang memanggil untuk bangun dan bersekolah itu. Tak berapa lama gue mengucek kedua mata dan mulai tersadar dengan suara wacker yang belum di offkan itu. Sepintas kedua bola mata gue terkejut memelototi benda bulat itu yang menunjukkan pukul 07.22.
Dengan rambut yang berantakan dan muka gersang spontan langsung saja gue mengambil seragam sekolah yang tergantung di belakang pintu kamar serta tak lupa dengan sepatu dan tas sekolah milik gue. Kini gue memutuskan berangkat dengan naik ojek ketimbang mengendarai mobil pribadi sendirian. Dengan lari 70 km/jam, akhirnya sampai ke sekolah tepat pukul 07.33. Ternyata dewi keberuntungan masih memihak pad ague wanita yang selalu mujur nasib ini sebab pintu gerbang sekolahan itu masih terbuka walaupun bel sekolah sudah berlangsung sejak 3 menit yang lalu.
Dengan terburu-buru gue langsung lari masuk menuju kamar kecil untuk mengganti pakaian tidur yang masih gue kenakan dengan seragam sekolah yang dari tadi digenggam. Jantung terasa berdegup cukup kencang sebab rasa tidak tenang untuk segera masuk ke kelas dan mengikuti pelajaran. Saat melangkahkan kaki ke luar dari kamar kecil, tiba-tiba gue menoleh ke arah tempat yang selalu menyediakan berbagai makanan yang lezat, apalagi kalau bukan kantin sekolah. Wajar saja mataku menoleh ke arah sana sebab kantin tersebut terletak bertetanggaan dengan kelasku. Sungguh yang paling dikhawatirkan bahwa setiap hatinya kantin itu menyuguhkan berbagai coklat yang lezat, hal itu yang paling tidak bisa gue tahan nafsu.
“Sudahlah Dina, cepat masuk ke kelasmu ntar kamu dimarahi sama gurumu dan tidak diberi izin untuk mengikuti pelajaran. Lagi pula tadi malamkan kamu sudah berpesta coklat dengan mama dan adik sepupumu.” Sesuatu yang membisiki telinga kanan Dina.
Tersadar dengan itu, Dina mencoba untuk meninggalkan kantin dan melangkah menjauh. Tapi setelah di langkah keduanya…
“Alahh… itukan tadi malam. Hee, Dina. Tidakkah engkau tergiur dan sangat suka dengan coklat-coklat lezat yang mengejek dirimu karena kamu tidak berani untuk membeli dan memakan mereka. Lagipula membeli coklatkan cuma membutuhkan waktu 2 menit. Ayolah Dina beli coklat itu.” Sesuatu yang membisikkan telinga kiri Dina.
Buset, seakan malaikat dan setan ikut ambil andil pada saat itu. Uangpun keluar dari saku baju gue dan lembaran uang tersebut tergantikan dengan dua buah bungkus coklat yang berukuran sedang. Senang rasanya disaat kita punya coklat. Tak lama gue mencoba berlari kecil menuju kelas gue. Namun apadaya  sang dewi keberuntungan kini tak memihak, gue diberi izin oleh guru wali kelas untuk belajar di rumah saja. Ya, memang sudah peraturannya apabila ada siswa yang terlambat masuk ke kelas selama 10 menit maka belajar di rumah lebih baik untuknya.
Dengan penuh penyesalan dan rasa kesal tersimpan di benak. Gue pergi pulang dengan muka murung. Kali ini gue memutuskan pulang dengan berjalan kaki seraya memikirkan apa yang telah terjadi barusan.
“Ternyata benar apa yang dikatakan oleh si malaikat tadi. Coba aja tadi gue langsung masuk ke kelas dan tidak membeli coklat yang ada di kantin pasti gue sekarang sudah duduk di bangku kelas gue.” Sesalnya dalam hati. “Benar aja kalau gue harus jalan kaki sampai ke rumah bisa-bisa gempor nih kaki, malah perut belum terisi oleh makanan lagi.”
Dengan memutar-mutar kepala seperti mencari sesuatu. Dina berjalan ke depan. Tak butuh waktu yang lama gue menemukan kedai nasi padang di seberang jalan, dan gue pun memutuskan untuk sarapan disana. Seusai mengisi gue berniat akan memakan coklat yang gue beli tadi di kantin.
Baru jerjalan empat langkah ke tengah jalan, tiba-tiba sebuah angkot tanpa penumpang melaju dengan kenjang dan menambrak gue yang membuat roh gue terlempar 3 kali lebih jauh dari jasad gue.
“Terasa lengkap sudah kesialan gue pada hari ini, telat bangun gara-gara pesta coklat tadi malam, tidak mandi pagi, tidak diizinkan untuk mengikuti pelajaran hari ini, perut laper belom sarapan, dan ditutup dengan kematian, bahkan gue belom sempat untukmemakan coklat yang gue beli tadi. Dan ini semua terjadi gara-gara coklat.”
Kini kebingungan yang hanya ada. Karena malaikat maut saja belom menjemput disaat arwah gue sedang berkeliaran.
“Hihihi… bertambah satu lagi kesialan gue, gue kini tak bisa menikmati coklat lagi. Tapi gue tetep bisa menikmati coklat apabila gue masuk surga, ya, itupun kalau gue masuk kalau gue masuknya ke neraka…? Sementara itu malaikat maut aja belom kunjung tiba, apa terjebak macet kali ya…?”

ZJb







Imaji Sungai Bingai
Karya: Zulfansyah (XII IPS 1)

            Adzan Subuh kembali berkumandang di masjid tua yang tepat berada di seberang jalan rumahku untuk mengajak segelintir umat yang masih berpegang teguh pada agamanya untuk menunaikan kewajibannya. Sebagai umat beragama aku pun turut menunaikannya setelah Nande membangunkanku. Ya, aku memang bukanlah umat yang terlalu taat dalam memegang agama, bahkan aku pernah mencopet uang wisatawan, melawan kepada kedua orang tuaku, dan yang lebih parahnya lagi, aku pernah mabuk-mabukan bersama dengan teman sebayaku, tetapi boleh dibilang aku senang melakukan ibadah Subuh.
            "Mejile bangun, ayo sembahyang Subuh! Bapak sudah menunggu itu untuk sembahyang berjamaah. Bangun!" Nande membangunkanku penuh dengan kasih sayang, walaupun usiaku kini sudah tidak bisa dibilang anak kecil lagi.
            "Hmm... Iya, Nande ambil wudhu duluan." Dengan nada setengah sadar aku menyambut perintah Nande.
            "Nande dan Bapak sudah siap-siap, tinggal menunggu Mejile ini." Ya, keluargaku memanggil aku dengan panggilan Mejile yang sebenarnya kalau diartikan itu artinya adalah cantik, padahal aku terlahir sebagai lelaki. Aku pernah bertanya kepada Bapak perihal namaku itu, alasan aku diberi nama mejile karena aku lahir tepat pada waktu yang cantik, yaitu jam 7 pagi, tanggal 7 bulan 7 tahun 1997 yang bertepatan dengan tanggal pernikahan Bapak dengan Nande. Ya, sudahlah.
            Baiklah balik ke cerita, masih dalam keadaan belum sadar aku pergi ke kamar mandi. Ku rabakan tanganku ke sekitar bak mencari sesuatu untuk mengambil air, tetapi tanganku tak kunjung mendapatkan benda yang memaksaku untuk terus meraba. Alhasil, ku bukakan mataku dan kulihat ternyata benar, gayungnya tidak bertengger di sekitar bak, melainkan sedang mengapung di atas air, alias berada di dalam bak yang airnya tepat terisi setengah. Hal itu memaksa diriku untuk benar-benar bangun dari ketidak sadaran diriku.
            Ku sapukan pergelangan tanganku dengan seksama, ku basuhkan mukaku sepenuhnya hingga tiga kali, kemudian dilanjutkan bagian yang lainnya, dan semua itu aku lakukan secara tertib dan teratur sama persis dengan yang diajarkan oleh guru ngajiku kala aku kecil. Dan aku pun bersegera melaksanakan sembahyang Subuh berjamaah bersama dengan keluarga kecilku.
***
            Pagi yang cerah kembali menghampiri hari-hariku seperti sebelumnya. Kebetulan sekarang bertepatan dengan hari libur sekolah aku pun seperti biasanya melakukan rutinitasku, yakni menjadi seorang pemandu wisata kepada setiap pengunjung yang datang ke desaku ini. Desa Bibingai. Ya, walaupun aku remaja usia 17 tahun, tapi aku cukup handal dalam menunjukkan tempat-tempat pariwisata yang ada di desaku ini.
            Desa Bibingai merupakan desa kecil yang dihuni oleh sekelompok masyarakat kecil yang mengais rezekinya dari usaha bertani. Di desaku ini juga terdapat sebuah sungai nan elok yang memotong dan membuat desa Bibingai terbelah menjadi empat bagian, Bibingai Utara, Bibingai Timur, Bibingai Selatan, dan Bibingai Barat, yaitu bernama sungai Bingai.
            Entah bagaimana sungai tersebut membelah desa kami ini tapi itulah kekuasaan Tuhan yang wajib kami syukuri, sebab sungai Bingai sudah menjadi penopang hidup kami selama ini dalam pengairan sawah dan ladang-ladang kami dari dalu hingga sekarang.
            "Teroh-Teroh. Reutah-Reutah. Samsare-Samsare." Tepat di pinggir jalan dan dengan suara lantang aku menawarkan tempat-tempat istimewa yang ada di sekitar sungai Bingai kebanggaan kami kepada mereka yang berlalu-lalang.
            Kali ini pemandangannya tidak seperti biasanya, sebab ada beberapa anggota tim SAR yang aku temui di sekitar tempat dinama aku mencari wisatawan,  mungkin ada sesuatu yang telah terjadi namun entahlah aku tidak  terlalu menghiraukannya.
            Satu kereta, dua kereta, tiga kereta, dan masih banyak lagi kereta yang berlalu lalang tapi tidak ada satu kereta pun yang berhenti untuk berwisata. Keadaan seperi ini jarang sekali terjadi di desa kami. Biasanya wisatawan dalam negeri hingga luar negeri selalu melimpah ruah, tapi kali ini berbeda. Dan para pemandu wisata yang lainnya pun tidak sebanyak seperti yang biasanya, pada kemana mereka? Sebenarnya apa yang terjadi dengan desa ini? Benakku terus bergejolak mempertanyakan hal ini semua.
***
            Ya, aku langsung pergi menemui Pak kades dengan menaiki sepeda janda  milik Nande yang aku pinjam. Pak kades yang sedang asyik mencangkuli ladangnya yang tepat di sebelah rumahnya itu terkejut dengan kehadiranku yang menabrak sebatang pohon rambutan yang menjadi pembatas ladangnya itu.
            "Erkai kam ku jenda, Ile[1]?" Ya, Ile merupakan nama sampinganku di desa ini, bahkan aku lebih senang dipanggil begitu daripada nama lahirku.
            "Assalamu'alaikum Pak kades. Pak, kenapa desa kita hari ini sepi wisatawan, padahal hari ini kan hari libur tapi kok malah sunyi?" Tanpa menghirup napas terlebih dahulu aku langsung menanyakan hal tersebut  kepada Pak kades.
            "Wa'alaikum salam." Dengan wajah yang polos dibarengi sunggingan kecil di bibir seraya menghampiri dimana tempat keberadaanku.            "Jadi, kam[2] belum tahu mengenai berita itu?" Kini ekspresi wajah Pak kades berubah  menjadi lebih serius dari sebelumnya.
            "Berita kai[3], Pak?" Sambil mengerutkan alis aku pun bertanya dengan nada serius yang dikuasai rasa penasaran yang mendalam.
            "Sebaiknya kita membahasnya di dalam rumah saja, karena gak baik kalau ada orang yang mendengar berita tersebut. Mari, ikut saya!" Sambil sibuk sendiri membersihkan mata cangkul dengan kakinya dan berbisik-bisik, Pak kades mengajakku ke rumahnya tanpa memandang ke arahku seakan tidak ingin ada orang lain yang mengetahui ajakan Pak kades.
            Ya, sama seperti tadi yang ku bilang bahwa rasa penasaranku itu lebih besar dari segalanya sehingga dengan sigap aku sandarkan sepeda janda milik Nande pada dinding kayu rumah Pak kades yang berlapiskan cat berwarna kuning itu. Ya, rumah Pak kades merupakan satu-satunya rumah yang dilapisi cat berwarna, sedangkan rumah kami hanyalah warna abu-abu alias warna dasar semen dan selebihnya lagi hanya warna batu bata.
            Tanpa meminta izin terlebih dahulu aku langsung masuk ke dalam rumah dan duduk. Tidak lama kemudian Pak kades pun duduk tepat di hadapanku sehabis keluar dari kamar mandi membersihkan kakinya dari tanah yang melekat saat mencangkul di ladang tadi.
            “Ayo pak, sebenarnya apa yang terjadi dengan desa Binjai ini, kok hari libur seperti ini sepi akan wisatawan yang datang ke mari yang ada hanyalah para anggota tim SAR yang sibuk-sibuk sendiri?” Tanyaku dengan maksud langsung memulai dan memecah kesunyian diantara kami.
            “Sungguh sangat disesali peristiwa kemarin. Sungguh tragis, kantor lurah yang menangani bidang pariwisata desa Binjai dalam waktu dekat akan menutup desa Binjai terutama sungai Bingai sebagai daerah wisata.”
            “Maksud Pak kades peristiwa kai?
            “Jadi, kam banar-banar belum tahu Ile?"
            "Lenga[4] Pak kades." Jawabku.
            "Sebenarnya selama tiga hari ini desa kita sudah sunyi akan wisatawan. Karena tepat pada hari Jumat kemarin sehabis melaksanakan sembahyang Jumat terjadi tragedi yang mengenaskan, anak satu-satunya kila Manuel mati tenggelam di Samsare.” Ekspresi Pak kades kini malah menjadi lesu seakan sedang menyaksikan langsung tragedi tersebut dan aku dapat membacanya. “Usul punya usul bahwa tragedi tersebut berawal saat anak kila Manuel yang sedang membawa wisatawan tergelincir masuk ke Samsare dan tenggelam terbawa arus sungai Bingai, sedangkan para wisatawan yang dibawa Utas semuanya selamat dan sudah dipulangkan ke daerah mereka masing-masing. Memang kalau dilihat pada saat itu arus air sungai Bingai tidak seperti biasanya. Alhasil, sampai sekarang mayat Utas tidak ditemukan. Entah kenapa setiap tahun selalu terjadi kejadian seperti ini. Yang sekarang Utas-lah yang menjadi korbannya. Dan akhirnya, berita tersebut sudah menyebar kemana-mana. Maka dari itu, kantor lurah bidang pariwisata desa Binjai akan menutup desa Binjai sebagai tempat untuk berwisata karena takut peristiwa ini terjadi lagi di kemudian hari.” Kulihat Pak kades mengusap-usap matanya yang sebelah kanan. Memang sungguh prihatin melihat kila Manuel sibuk mencari mayat si Utas sendirian hingga larut malam dan itu hanya sesekali ditemani oleh tim SAR.” Sambung Pak kades.
            "Innalillahi. Jadi, Utas sudah meninggal dunia Pak kades?" Kejut batinku dan mencoba membendung danau yang terbentuk di kelopak mataku.
"Uwe[5] Ile. Pak kades sarankan, kam berhentikan saja kerja sampingan kam itu, dan fokus saja untuk belajar di sekolah kam. Karena Pak kades takut korban berikutnya itu kam Ile." Getar nada bicara Pak kades.
            Penjelasan dari Pak kades membuat aku turut sedih, seakan-akan sedihnya Pak kades ditransfer kepadaku. Sungguh ironis memang, sebab siapa yang bisa manyangkanya, usia tidak menjamin kapan kita akan kembali kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
            Utas sahabat karibku sejak sekolah dasar. Kami selalu bermain bersama, belajar bersama, tapi karena tuntutan ekonomi memaksa dia harus berhenti sekolah, waktu itu saat naik ke kelas lima. Utas hanya memiliki seorang Ayah tanpa mengenal sesosok seorang ibu yang sudah melahirkannya. Sebab dari penjelasan kila Manuel yang tidak lain Bapak kandung Utas, bahwa, ibu Utas meninggal saat Utas berusia satu minggu karena kanker otak akut yang diderita. Lagi-lagi itu semua karena keadaan ekonomi keluarga.
            Semenjak keberhentian Utas akan sekolahnya membuat kami jarang untuk bersama-sama lagi. Aku sibuk dengan sekolahku, sedangkan dia sibuk mengais rezeki dengan bekerja menjadi seorang pemandu wisata yang itu membuat kami bertemu hanya sekali seminggu saat aku juga bekerja dan itu pun jarang.
            Tiba-tiba suasana menjadi hening hanya ada tiupan angin yang menyambar badan kami. Sepertinya aku merasa keberadaan Utas menyertai aku dan Pak kades.
            Mengetahui bahwa mayat Utas belum ditemukan aku memiliki hasrat untuk turut membantu manemukan mayat Utas sahabat karibku di sekitar Samsare. Entah bagaimana hasrat itu datang tapi aku seperti terpanggil.
            Benar saja, setibaku di tempat kejadian aku langsung bertemu dengan kila Manuel dan beberapa anggota tim SAR yang sedang sibuk mencari-cari sambil berenang di sekitat area Samsare. Mereka menelusuri sungai Bingai tapi tetap saja mayat Utas tidak ditemukan.
            Tidak sedikit masyarakat desa Binjai berpendapat bahwa jasad Utas sudah diambil oleh roh jahat penunggu tempat Samsare, jasad Utas sudah dimakan oleh hewan melata penunggu sungai Bingai, bahkan lebih parahnya bahwa, Utas sudah menjadi tumbal bapaknya sendiri karena kila Manuel terkenal di desa ini sebagai seorang paranormal yang cukup mandraguna.
            Aku menepis semua anggapan tersebut dengan mentah. Aku yakin mayat Utas pasti bisa ditemukan walaupun bentuknya sudah tidak utuh lagi.
            "Ile, tolong maafkan temanmu Utas kalau dia punya salah ya."
            Seseorang menghampiri dan memegang pundakku dengan nada sedih. Ku palingkan wajahku ke arah orang yang sedang berbicara itu. Sudah ku tebak, kila Manuel.
            Tangannya dingin seperti es sampai-sampai tulang pundakku pun mampu merasakannya.
            "Ile pasti memaafkan semua kesalahan Utas Kila, walaupun tanpa diminta untuk memaafkannya." Ucapku dan berharap perkataan tersebut mampu menenangkan hatinya. "Kila, kalau diizinkan Ile ingin membantu mencari jasad Utas."
            "Sudahlah Ile, tidak ada gunanya lagi. Kami sudah lelah mencarinya. Itu semua sia-sia." Tukas kila Manuel penuh dengan rasa putus asa.
            Aku hanya bisa terdiam mendengar perkataan kila Manuel. Tapi itu tidak turut membuatku putus asa juga untuk mencari jasad Utas. Aku mulai menyusuri sungai Bingai. Karena ku tahu di Samsare tidak ditemukan maka, ku cari ditempat lain.
            Dari Samsare aliran sungai menuju ke arah Reutah dan ku habiskan waktuku di sana untuk mencari Utas. Ku selami sungai Bingai di Reutah tapi tidak ada tanda-tanda bahwa mayat Utas ada di sana.
            Aku semakin terpanggil untuk terus menyusuri sungai Bingai yang akhirnya berujung di Teroh-Teroh. Aku pun kembali menyelam dan mengitari areal Teroh-Teroh. Waktu semakin senja, lelah kini menguasai badanku.
            Ku sepakati diriku untuk beristirahat sejanak. Mataku terpaku mengarah ke sebatang pohon yang berada di pinggir sungai yang mengapung. Batang pohon tersebut membuat aku melamun membayangkan persahabatan kami berdua ternyata berakhir secepat ini.
            Semakin dalam ku tatap batang pohon tersebut semakin dalam pula ingatanku akan Utas. Ku perjelas fokus mataku manatap batang pohon yang mengapung di pinggir sungai itu seperti ada yang aneh. Ku coba untuk menyeberangi sungai dan ku lihat ternyata... "Utas..." Sentakku ketika ku lihat sebatang pohon tadi menjelma menjadi sosok Utas.
            Aku mengenali betul pakaian yang dikenakannya setiap hari kala mencari wisatawan, baju hijau pudar lengan puntung. Langsungku angkat jasad Utas dari dalam sungai.
            Aku tidak bisa menerimanya, badan Utas lembam penuh belatung dan membusuk. Kini air mataku tidak dapat aku bendung lagi. Rasa penyesalan terus berkecamuk dalam batinku.
            Langsung aku berlari memberitahu kila Manuel mengenai keberadaan jasad Utas tersebut. Masyarakat berbondong-bondong ingin melihatnya. Peristiwa injak-menginjak dan dorong-mendorong pun terjadi seperti tidak percaya terhadap kenyataan.
Karena bau busuk dan tubuh Utas sudah dipenuhi oleh belatung, tanpa mengulur waktu lagi setelah memastikan bahwa mayat itu memang Utas memalui pengenalan pakaian dan tingginya. Dikarenakan muka dan bentuk tubuh Utas sudah tidak sempurna lagi maka, jasad Utas langsung dibungkus dengan kain kafan dan di sembahyangkan oleh beberapa warga setempat, serta dikubur di sekitar areal Teroh-Teroh. Kemudian semuanya berbondog-bondong pergi ke rumah kila Manuel untuk menghadiri upacara adat kematian.
            Di rumah duka, acara adat atas kematian Utas diselenggarakan penuh dengan isak tangis keluarga dan sahabat dekat kila Manuel. Pak kades, Nande, dan Bapak pun ikut datang untuk menyampaikan doa dan rasa duka mereka.
            Saudara kila Manuel satu persatu menyampaikan rasa kesedihannya dengan menggunakan bahasa Karo yang kental.
            "Oii, anak turangku, engkai kam cepat tinggalken kami. Bapakmu sekalak bah rumah[6]."
            "Anak si sada udah tiada siapa yang merawat kam Bapak? Anak si sada lenga pesehna cita-citana[7]." Sambung Nande uda Utas.
            "Tenanglah kam, enggo tenang kam bahjoh, tedeh tekami anak si sada e[8]." Lanjut Bibi Utas.
            Tidak ada warga dan sanak saudara yang tidak menangis saat menyampaikan kesedihannya satu persatu, begitu juga denganku.
            Usai sudah prosesi menyampaikan rasa kesedihan, kemudian dilanjut dengan acara makan bersama. Makan bersama di sini bertujuan untuk penghormatan terakhir dan ucapan terima kasih kepada segenap orang yang sudah hadir dan turut ikut berdoa.
            Semua prosesi adat kematian sudah dilaksanakan sesuai ketentuan adat Karo. Malam pun semakin gulita. Nanyian jangkrik melepas kesunyian di rumah kila Manuel. Doa beribu doa sudah disampaikan untuk Utas agar ia tenang di sana.
            Akhirnya aku bersama Bapak dan Nande pulang ke rumah. Di sepanjang jalan aku memikirkan kejadian ini dan sungguh sulit untuk aku percaya. Aku malah berpikir bahwa Utas masih hidup, dia hanya bermain-main dan tidak pulang kerumah hanya untuk waktu sebentar, dia pasti pulang ke rumahnya dan bertemu kembali dengan bapaknya.
            Saat di jalan menuju rumah tiba-tiba hujan mengguyur lebat dan membasahi badanku, tapi ku lihat badan Bapak dan Nande tidak basah, sama sekali tidak basah. Sentak aku langsung berteriak memanggil kedua orang tuaku sekeras mungkin.
            Dan aku pun tersentak saat ku rasakan percikan air ke wajahku.
            "Mejile bangun, udah ditunggu itu sama Utas di depan pintu." Nande membangunkanku untuk yang kedua kalinya.                       
            "Nande ini jam berapa?" Tanyaku yang disertai degup jantung yang kencang. Ku palingkan wajahku ke arah jam dinding yang masih berdetak-detak itu, ternyata menunjukkan jam 9 pagi. Jadi, tadi itu apa?
            "Jam 9. Makanya habis sembahyang itu jangan tidur. Sudah kam temui Utas, sudah lama dia menunggu di depan pintu."
            Tanpa berpikir panjang dan tanpa mencuci muka terlebih dahulu aku langsung menuju ke depan pintu dan kulihat sesosok bayangan hitam sudah berdiri di sana. Semakin aku mendekat ke pintu semakin jelas bayangan tersebut. Kulihat dengan hati-hati dan ternyata...
            "Ile, lama kali kam bangun. Ayo kita kerja mencari wisatawan, kalau ada peluang sikit-sikit bisalah kita ambil selembar atau dua lembar uang wisatawan itu. Ayo cepat, aku udah nunggu kam..."
            Rasa lega mengguyur seluruh tubuhku seperti diguyur segarnya air sungai Bingai. Senang rasanya masih bisa melihat dan mendengar suara sahabat karibku itu. Tak ku hiraukan saat dia berbicara panjang lebar di sepanjang perjalanan melainkan, menatapnya dengan rasa gembira sambil tersenyum dan terus bersyukur kepada Tuhan bahwa itu semua hanya mimpi.


[1] Erkai kam ku jenda, Ile: Ngapai kamu ke sini, Ile?
[2] Kam: Kamu
[3] Kai: Apa
[4] Belum
[5] Iya
[6] Hai, anak saudaraku, kenapa kamu cepat tingalkan kami. Ayahmu sendirian di rumah
[7] Anak satu-satunya sudah tiada siapa yang merawat Ayahmu? Anak satu-stunya belum raih ceta-citanya
[8] Tenanglah kamu, sudah tenanglah hidupmu di sana, kami rindu sama anak si satu ini

0 komentar: